Senin, 11 November 2013
Tawuran Pelajar yang Memprihatinkan Dunia Pendidikan di Indonesia baik di kota besar maupun di
desa
Tawuran merupakan suatu kegiatan perkelahian atau tindak kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat.
Di Indonesia sendiri tawuran telah menjadi tradisi, atau bahkan budaya.
Prilaku menyimpang ini biasanya diakbatkan oleh masalah sepele atau bisa saja
disebabka oleh hal-hal serius yang menjurus pada tindakan bentrok.
Tawuran sering terjadi dikalangan, pelajar, mahasiswa dan warga desa. Maka
tak heran jika kita sering menjumpai aksi perkelahian masal ini di jalan,
khususnya diwilayah ibukota.
Entah maksud dari para pelaku tawuran tersebut. Yang jelas aksi negatif ini
banyak sekali menimbulkan kerugian, yakni seperti mengganggu ketertiban, dan
keamanan umum. Bahkan dari aksi tawuran ini tak sedikit banyak korban luka
hingga korban tewas yang berjatuhan.
Tawuran atau perkelahian yang dilakukan pelajar yang
akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa kota besar di Indonesia contohnya
saja Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini
sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus
dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu
hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.Hal ini menjadi
cermin bagaimana dunia pendidikan di Indonesia.
Ada beberapa penyebab terjadinya tawuran.Dari segi
psikologis sendiri setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di
dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan
kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan,
terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat
perkelahian pelajar.
1. Faktor
internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang
mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di
sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan
semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak.
Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja
yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah
putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain
pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk
memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka
mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka
terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat.
Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor
keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar
orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat
remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal
yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang
terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang
tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu
bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total
terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor
sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga
yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu
harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang
tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana
guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan
sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang
sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam
“mendidik” siswanya.
4. Faktor
lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang
sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian.
Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang
berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang
sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi.
Munculnya sejumlah alternatif pemecahan tawuran
pelajar,terjadi dalam lingkaran yang tidak menyentuh substansi masalah.
Misalkan muncul tawaran, agar sekolah mengeluarkan siswa yang termasuk sebagai
pelaku tawuran, atau kerja sama lintas sekolah untuk tidak menerima setiap
siswa yang melakukan tawuran.
Solusi-solusi tersebut nampak sangat menjanjikan, tapi
menyisakan pertanyaan mendalam. Bagaimana nasib siswa yang “dibuang” dari
lingkungan pendidikan formal itu? Bukankah solusi ini justru akan menciptakan
“monster-monster” masyarakat baru? Terus, bagaimana menuntaskan kepuasan batin
keluarga yang menjadi korban? Serta bagaimana pula menjaga agar kebiasaan
tawuran tidak menjangkiti siswa lain?
Solusi alternatif di atas, dianggap mampu
meminimalisir tawuran pelajar. Akan tetapi, efek jangka panjangnya yang menjadi
titik kekhawatiran. Siswa sebagai individu mengalami fase psikologis, di mana
ia selalu berada dalam kebimbangan antara dunia keluarga dan dunia kekerabatan
(teman sebaya).
Dalam dunia keluarga, banyak nasehat normatif yang
berfungsi untuk membekali diri dari ancaman luar. Namun, hampir seluruh
pengalaman siswa terjadi bersama rekan sebaya.
Saat siswa mendapatkan kenyamanan atau menemukan
“sesuatu” yang dapat menjadi pelampiasan hasratnya, boleh jadi ia tergerak
untuk melakukannya walau besar risikonya. Tawuran merupakan medan pembuktian
kesetiakawanan dan medan pembuktian diri dalam rangka mencari identitas. Fakta
ini memang sulit diterima oleh akal sehat, namun begitulah keadaannya.
Menghentikan tawuran pelajar harus mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Memberikan sanksi kepada sekolah jelas tidak
menyentuh substansi masalah. Karena tawuran terjadi, tidak hanya di dunia fisik
(sekolah) tapi juga terjadi di dunia psikis (jiwa).
Menghentikan tawuran sama artinya dengan menghentikan
insting destruktif manusia. Sehingga, menghentikan tawuran berarti harus
memangkas bentuk-bentuk insting destruktif manusia.
Perploncoan di lingkungan pendidikan formal,
diindikasikan sebagai arena pemupukan insting destruktif. Komentar-komentar
“pedas” pendidik kepada siswa, juga bisa jadi memberi pengaruh tersendiri bagi
pemupukan insting destruktif ini. Maka, solusi paling tepat dalam menghentikan
tawuran ini selain mendorong sekolah agar melakukan upaya-upaya kreatif dalam
membina siswa, sekolah juga harus memangkas segala bentuk perilaku yang bisa
memicu munculnya insting destruktif tersebut. Selain itu dari keluarga siswa
tersebut sebaiknya dari dini perlu halnya ajaran agama masing-masing lebih
diajarkan karena semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan.
Referensi :
Kota-kota besar dengan segala kompleksitas permasalahannya juga tak
luput berdampak pada kehidupan sekolah. Segala harapan, peluang dan persaingan
di kota besar lebih banyak dibanding dengan di desa atau di kota-kota pelosok.
Hal ini juga berdampak pada tekanan dan harapan yang dipikul oleh para siswa/I
di kota-kota besar. Beda halnya dengan di kampung atau desa, harapan, peluang
dan persaingan siswa/I di kampung relatif sedikit dibandingkan dengan kota-kota
besar.
Di kota-kota besar, para siswa/I sudah dibebani dengan kondisi
kompetitif seperti untuk mendapatkan pekerjaan harus memiliki pendidikan yang
tinggi minimal S-1 bahkan sekarang ini S-1 saja banyak yang pengangguran.
Kondisi semacam inilah yang membuat para siswa/I di kota- kota besar mengalami
stress dan membutuhkan penyaluran dari stress tersebut. Kemungkinannya tawuran
ini merupakan bentuk penyaluran dari kondisi-kondisi tersebut. Apalagi di
kota-kota besar di Indonesia fasilitas atau ruang publik yang menyediakan
sarana dan pra-sarana gratis yang menunjang hobi para siswa/I seperti olahraga
sangat sedikit sekali. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan para siswa/I
beralih ke kegiatan yang lebih negatif yaitu ‘tawuran’
http://forumkasogi.wordpress.com/2012/10/16/56/
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)